home

Enceng Gondok, Dulu Dibuang Kini Disayang

27 Oktober 2010.

TEMPO Interaktif, Surabaya- Daunnya hijau kelam berkilat saat terkena pantulan sinar matahari. Berjajar rapat nan subur mengapung memenuhi sepanjang aliran sungai Kebraon Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur.

Melihatnya menutupi setiap jengkal permukaan sungai, Julita Joylita Wahyu Mumpuni, warga baru pindahan dari Malang itu heran. “Itu enceng gondok,” jawab warga setempat saat ia menanyakan nama tanaman itu.

Untuk mengobati rasa penasarannya, ia pun mengambil beberapa daun untuk dibawa pulang. Sesampai di rumah, ia masih penasaran. Diamatinya daun-daun yang tergelatak mengering di pelataran rumahnya. Itu terjadi pada empat belas tahun lalu, 1996.

Kini, perempuan berusia 41 tahun itu bersyukur. Sebab, daun enceng gondok (Eichhornia crassipes) yang dulu sempat membuatnya terheran-heran kini mulai menuai hasil.

Sebab, setelah keheranannya itu ia mulai bisa mengubah tanaman yang dicap sebagai penganggu perairan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ia menyulap batang tanaman itu menjadi berbagai kerajinan bernilai jual tinggi.

“Pertama kali coba-coba membuat sarung bantal kecil dan hasilnya bagus,” kata Julita saat ditemui dirumahnya di Perumahan Griya Kebraon Utama D0/20, Karangpilang, Surabaya, Senin (25/10) lalu.

Sebenarnya Julita tidak pernah mendapat keterampilan teknik menganyam. Namun ia mencoba coba-coba menganyam. Setelah anyamannya jadi, ia pun terpacu untuk memanfaatkan lagi enceng gondok yang ada di Sungai Kebraon itu.

Hampir tiap hari, ia pulang pergi mengambil tanaman yang di Sungai Kebraon yang jaraknya hanya 30 meter dari rumahnya. Tanaman itu dikeringkan selama kurang lebih tujuh hingga 10 hari. Setelah kering tanaman itu dipipihkan dan siap dianyam menjadi berbagai kerajinan. Diantaranya, tikar, taplak meja, topi dan sandal dan tas jinjing.

Awalnya kerajinan tersebut hanya menjadi koleksi pribadi. Namun, lama kelamaan kerajinan enceng gondok ini banyak dilirik orang karena dianggap unik, menarik dan bahan bakunya mudah didapat. Kualitasnya, kata Julita, tidak perlu diragukan, karena serat batangnya sangat rapat dan kuat untuk bahan baku kerajinan.

“Lama-lama, ada saja teman yang pesan tas, dompet, tikar dan banyak lainnya. Saya sanggupi semuanya meski baru belajaran menganyam,” ujarnya bersemangat.

Hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut, pada 1997, ia mendapat pesanan berskala besar yaitu sebanyak 10 ribu biji kerajinan lepek (tatanan gelas) dan tas model tertentu dari orang Jepang.

Meski belum pernah membuat skala besar, Julita menyanggupinya. “Bagi saya ini jadi
tantangan,” kata dia.

Pemesan dari Jepang ini mengetahui hasil kerajinannya setelah mendengar promosi dari seorang temannya.

Ia kemudian menghimpun para ibu rumah tangga yang bersedia diajak membuat kerajinan pesanan tesebut. Mereka berasal dari warga setempat ataupun kenalan. Beberapa adalah buruh tani perempuan yang berpenghasilan rendah. “Daripada kerja di sawah kepanasan, lebih baik ikut saya buat kerajinan. Tetap cantik dan bergaji besar,”
cerita Julita saat mengajak buruh tani perempuan membuat kerajinan.

Ada 50 perempuan yang bisa dihimpan kala itu. Perlahan-lahan mereka pun diajari menganyam tanaman itu menjadi kerajinan. Meski dadakan, dalam tempo sepekan, Julita akhirnya bisa memenuhi pesanan beromzet puluhan juta itu. “Sempat was-was akhirnya bisa juga,” ujar dia.

Hari demi hari, ada saja pesanan yang mengalir ke rumahnya. Tanpa bantuan modal dari manapun, ia melayani pesanan dari berbagai daerah di Indonesia seperti Sulawesi, Bali, dan Sumatera.

Itu dari dalam negeri. Dari luar negeri tercatat ada negara seperti Prancis, Brunai
Darussalam, Italia, Belgia, dan Amerika Serikat yang pesan. “Omzet terbesar hingga Rp 200 juta,” kata Julita.

Saat ini ada sebanyak 400-an tenaga kerja yang bermitra dengannya. Mayoritas adalah ibu-ibu rumah tangga yang tersebar dibeberapa kecamatan di Surabaya bahkan dari luar Kota misalnya Mojokerto dan
Surabaya.

Total bahan baku yang digarap rata-rata sebanyak 500 kilogram (empat kontainer) per bulan.

Para ibu-ibu tersebut dipersilakan membuat kerajinannya di rumah masing-masing. Kerajinan yang dikerjakan terdiri dari dua jenis, yaitu barang pesanan dan barang hasil kreatifitas masing-masing. “Saya tidak ingin membatasi kreatifitas mereka membuat model-model tertentu,” ujar dia.

Penjualan barang-barang hasil kreatifitas itu, kata Julia, menggunakan sistem konsinyasi. Yaitu pembayaran dilakukan setelah barang kerajinan tersebut laku terjual.

Harga barang, lanjut dia, tergantung tingkat kesulitan menganyam dan tambahan aksesorisnya. Untuk tas jinjing sederhana harga jualnya antara Rp 30 ribu hingga Rp 100 ribu, tatanan gelas Rp 5 ribu, dan satu set sofa beserta meja enceng gondok seharga Rp 5 juta.

“Pendapatan ibu-ibu dari membuat kerajinan bisa mencapai Rp 3 juta per bulan,” ujar dia.

Bahkan kini beberapa mantan pekerjanya sudah mampu mandiri mengembangkan usaha sendiri. Contoh saja, Suladi, warga Mojokerto yang memfokuskan membuat sandal dan sepatu enceng gondok sejak 2000 lalu. Tak kerasan kerja sebagai buruh pabrik, lelaki berusia 32 tahun ini mencoba berwiraswasta.

“Dirawa-rawa di Mojokerto, bahan bakunya mudah ditemukan dan murah meriah,” kata dia. Ia mengatakan pernah bangkrut saat membuka usaha kripik singkong. “Dan jadi pengrajin enceng gendok resiko kebangkrutan lebih kecil,” kata dia.

Kini, Suladi sudah memasarkan barangnya ke Sidoarjo, Gresik, Surabaya dan Balikpapan. Dengan omzet belasan juta ia telah memperkerjakan tiga karyawan tetap dan belasan pekerja tambahan jika ada pesanan berskala besar.

Ia mengakui masih banyak menemui kendala sebagai pengrajin enceng gondok. Menurut dia, kendala internal beberapa pekerjanya tidak telaten menggarap sandal-sandal dengan model terbaru. Kendala lainnya akses pemasaran masih sulit. “Dua kali pernah diajak pameran oleh pemerintah setempat, setelah itu berhenti,” ujar dia.

Menurut dia, pemasaran akan menentukan keberlanjutan usaha enceng gondok.

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Surabaya, Hadi Mulyono, mengatakan kerajinan enceng gondok mempunyai potensi untuk berkembang. Pasar saat ini, lanjut dia, masih banyak yang belum tahu kerajinan enceng gondok.

Untuk membantu pemasaran UMKM setempat, dirinya memberikan fasilitas kepada perajin untuk menggelar pameran di mall. Diantaranya di Royal Plaza, Jembatan Merah Plaza dan Internasional Trade Center surabaya. “Mereka gratis bisa mengenalkan
produknya di mall,” ujar dia.

Agar bisa masuk ke pasar, keragaman model dan kualitas juga menjadi penentunya. “Kami sebisa mungkin memotivasi dengan berbagai pelatihan kepada usaha mikro agar bisa berkembang,” ucap dia. Berbagai teknologi dan peralatan juga banyak disalurkan untuk perajin. “Yang penting bagaimana usaha mereka itu terus berlanjut dan berkembang,” katanya.

DINi MAWUNTYAS


Sabet Prestasi Gara-gara Enceng Gondok

“S3,” kata Julita percaya diri saat ditanya pendidikannya oleh mahasiswa Universitas Brawijaya yang mengundangnya jadi dosen tamu untuk memaparkan keberhasilannya menjadi perajin enceng gondok. “S3 bukan sarjana strata tiga lho, tapi lulusan Sekolah Menengah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas,” kata Julita tertawa renyah menceritakan pengalamannya.

Ya meski hanya lulusan sekolah menengah atas, ibu dua putri ini menyabet seabreg penghargaan gara-gara enceng gondok. Ia mendapatkan penghargaan lingkungan diantaranya “Clean up the world” dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2001 lalu, Kalpataru pada 2004, dan penghargaan dari World Bank pada 2005 karena membantu menanggulangi kemiskinan dengan mengajak perempuan membuat kerajinan, untuk menambah penghasilan keluarga.

Ia diundang jadi dosen tamu diberbagai perguruan tinggi negeri untuk berbagi pengalaman dan mengajar mahasiswa. Berbagai kelompok dan institusi kerap mengundangnya untuk menjadi nara sumber tentang enceng gondok. Bahkan, ia pernah ke Kamboja atas undangan PBB untuk mengajari warga Kamboja membuat kerajinan enceng gondok, yang banyak dijumpai dinegara tersebut. “Saya mengajari pakai bahasa tubuh, karena orang Kamboja juga tidak bisa bahasa Inggris,” ujarnya terkekeh.

Selain memproduksi kerajinan, dirinya kini menjadi guru kursus para ibu-ibu rumah tangga untuk menjadi perajin enceng gondok. Bertempat di rumahnya yang juga menjadi sekretariat Lembaga Pendidikan Terapan Masyarakat Griya Enceng Gondok Julita , ia mengajari ibu-ibu binaan Pemerintah Kota Surabaya itu, menganyam enceng gondok selama tiga bulan. Ada 5000-an ibu rumah tangga yang pernah menjadi muridnya.

Tak hanya itu, usahanya juga menjadi salah satu tujuan wisata. Melalui program “tour enceng gondok” para wisatawan diajak mengikuti proses pembuatan enceng gondok. Mulai pengambilan enceng gondok, pengeringan, hingga proses produksi. “Di akhir tour para wisatawan pasti membeli kerajinan enceng gondok untuk oleh-oleh,” ujar dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar