home

Laba Mengepul Dari Bisnis Cerutu


Rata-rata 1.000-2.000 batang cerutu per bulan pun mampu terserap pasar.

12 April 2010

SURABAYA POST - ‘If smoking is not allowed in heaven, I shall not go’. Ungkapan nakal yang artinya ‘Jika merokok tidak diperbolehkan di surga, saya memilih untuk tidak pergi kesana’ ini terlontar dari mulut penulis terkenal, Samuel Clemens.

Saking cintanya, penulis novel terkenal The Adventures of Tom Sawyer dan The Adventures of Huckleberry Finn ini pada cerutu, sampai-sampai dia memilih masuk neraka seandainya saja kawasan dilarang merokok diterapkan di surga. Tentu ini hanyalah perumpamaan yang dipakai untuk menunjukkan bagaimana tidak bisanya pria dengan nama beken Mark Twain ini hidup tanpa cerutu. Tak heran, sedikitnya 22 batang cerutu dihabiskannya dalam sehari.

Bagi para penggemarnya, menghisap cerutu bisa dikatakan adalah segalanya. Harga mahal yang harus ditebus serta risiko penyakit yang menyertai sebatang cerutu tidak menghalangi mereka untuk berburu lintingan tembakau ini.

Di berbagai belahan dunia, sudah banyak perusahaan yang menyeriusi bisnis di bidang ini. Tak hanya memproduksi, pekerjaan mengimpor, menyediakan tempat dan ‘pasangan’ cerutu, misalnya wine pun dirambah dan terbukti bisa menjadi pasar yang menjanjikan.

Di Indonesia sendiri, belum terlalu banyak yang mau menekuni komoditi ini. Di nusantara, hanya ada empat lokasi yang menyediakan secara khusus komoditi cerutu, dan semuanya berada di Jakarta.

Minimnya pemain di bisnis cerutu inilah yang kemudian dimanfaatkan Roy Kurniawan Laksono. Pria 29 tahun yang sebelumnya terjun di bisnis keuangan ini melihat ada pasar potensial di bisnis ini. Dengan bendera Cuban Cigars Indonesia, Roy kini sukses menjadi salah satu pemain penting bisnis cerutu.

Berbeda dengan pemain lain yang menyentuh konsumen cerutu dengan membuka kafe khusus untuk menikmatinya, Roy justru membuka pasar baru memasarkan cerutu di Indonesia melalui dunia maya alias on line.

Ketertarikan Roy berbisnis cerutu diawali dari kegemarannya menghisap rokok besar ini. “Awalnya saya diajak teman menghisap cerutu. Lalu lambat laun akhirnya suka,” ujarnya. Awal menghisap cerutu, Roy harus pergi ke tempat-tempat yang memang khusus menyediakan cerutu tersebut. “Lama-lama capek juga harus pergi ke kafe hanya untuk menikmati sebatang cerutu,” katanya.

Akhirnya tercetuslah idenya untuk membuka toko on line yang melayani pembelian cerutu. Dikatakan Roy, keyakinannya masuk ke bisnis ini didasari masih minimnya pemain di sektor ini. “Setiap kali terjun ke bisnis memang saya cari yang pemainnya sedikit,” katanya. Selain tidak banyak saingan, bisnis ini dirasanya menghadirkan tantangan.

Ketatnya aturan mengenai barang kena cukai, termasuk salah satunya cerutu, dirasanya menjadi tantangan yang justru menghadirkan peluang. “Karena ada entry barrier itulah tidak semua orang bisa bermain disana. Dan saya merasa beruntung karena tahu cara mengatasi masalah itu,” kata pria kelahiran Malang ini.

Dengan memasarkan bisnisnya melalui internet, Roy mengaku tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. “Saya paling hanya menyediakan webmaster, pengelola web dan beberapa tenaga administrasi dan akunting,” katanya. Bandingkan dengan pemain lain di bisnis ini yang rata-rata membuka kafe atau toko di first class landmark macam Plaza Indonesia, Gedung Bursa Efek Indonesia atau Hotel Shangri-La di Jakarta.

“Kalau saya membuka kafe khusus cerutu di tempat-tempat seperti itu, yang ada malah expense-nya besar,” ceritanya. Hitungan kasar saja, di tempat yang disebutkan diatas, biaya sewa per bulan bisa mencapai angka Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per bulan. “Kalau di dunia maya, kan biaya sewa lahannya murah sekali, bahkan bisa dibilang tidak ada,” selorohnya.

Selain biaya sewa tempat, pegawai yang direkrut pun tidak sebanyak bila harus membuka toko khusus. Roy sendiri mengaku, bisnisnya kini hanya ditangani tak lebih dari 10 orang pegawai. Sepuluh orang tersebut menangani bisnis penjualan cerutu yang kini bisa terjual mencapai 1.000 batang per bulannya.

Satu lagi keuntungan berbisnis cerutu di Internet, Roy mengaku bisa memajang semua merek dan jenis cerutu yang ada di pasaran. “Kalau saya punya toko, saya pasti punya keterbatasan untuk memajang cerutu saya,” ucapnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena untuk menyimpan cerutu bukanlah hal yang remeh. Bila salah penanganan, bisa-bisa cerutu yang harganya berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 4 juta per batangnya ini bisa rusak.

Dengan memajang barang di Internet pula, Roy mengaku di awal bisnisnya tidak perlu menyimpan stok semua jenis cerutu tersebut. “Kalau awalnya saya cuma menyimpan stok cerutu yang cepat laku saja. Yang jarang peminatnya saya sediakan setelah ada order saja,” katanya yang mengaku kini sudah mempunyai stok semua merek cerutu.

Dengan semua keuntungan tersebut, Roy mengaku bisa menjual cerutu dagangannya dengan harga yang sangat kompetitif, atau bisa dibilang paling murah dari pemain lainnya.

Selain memperkecil modal, Roy mengaku juga melakukan beberapa trik bisnis untuk mengurangi ongkos produksinya. Salah satunya adalah dengan memotong jalur distribusi. Bila biasanya, pebisnis cerutu harus melewati Hongkong untuk mengimpor, Roy langsung mengimpornya dari distributor besar di Swiss.”Jaring distribusinya sebenarnya dari produsen Kuba ke Swiss terus ke Hongkong, baru dikirim ke Indonesia. Namun syukur saya bisa minta langsung Swiis,” tuturnya.

Meski demikian menjalankan bisnis melalui media online tidak semudah yang dibayangkan. Kendala yang harus dihadapi Roy salah satunya adalah belum banyaknya alat pembayaran yang bisa dipercaya kedua belah pihak.

Di negara maju, pembayaran untuk transaksi onlne dilakukan dengan credit card processor, sebuah alat untuk memproses pembayaran melalui kartu kredit. Di Indonesia, lisensi untuk penggunaan alat tersebut belum mendapat ijin dari pihak penyedia. “Jadi kami hanya melakukan transaksi menggunakan metode transfer tunai,” kata Roy. Metode ini jelas tidak menguntungkan bagi beberapa konsumen karena rawan penipuan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar