3 Desember 2010.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah daerah tidak dapat semena-mena mengenakan pajak pada usaha mikro dan kecil yang memiliki peredaran usaha atau omzet di bawah Rp 300 juta per tahun.
Pertimbangannya, pengusaha seperti itu sebaiknya tidak dibebani pajak apapun. Atas dasar itu, pajak atas warung tegal pun tidak bisa diterapkan secara merata, karena harus melihat omzetnya terlebih dahulu.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Harry Azhar Azis di Surabaya, Jumat (3/11/2010).
Menurut Harry, sebagai usaha rumah makan, warung tegal (warteg) bisa dikenakan pajak restoran yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Namun, tidak semua warteg bisa dikenakan pajak restoran karena hanya usaha atau bisnis beromzet Rp 300 juta ke atas per tahun yang bisa dipajaki.
"Jika masalah omzet itu tidak terpenuhi, tidak ada basis hukum dan undang-undang yang dapat mendukungnya. Aturannya menjadi lemah," katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan pengenaan Pajak Penghasilan atau PPh pada warung atau tempat usaha yang dimiliki wajib pajak orang pribadi, mulai dari usaha rumahan hingga ke mal.
Setiap tempat usaha wajib membayar PPh sebesar 0,75 persen dari omzet atau jumlah peredaran setiap bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008.
Ini ditetapkan karena banyak orang Indonesia yang memiliki usaha lebih dari satu tempat. Oleh karena itu, pemungutan pajaknya perlu ditertibkan agar pengusahanya memiliki kepastian pembayaran, dan pemerintah memiliki kepastian penerimaan negara.
Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT) ini mencakup orang yang membuka warung (usaha jasa) di garasi rumahnya hingga pedagang yang memiliki satu kios atau lebih di berbagai tempat, baik di mal maupun rumah toko (ruko). Oleh karena itu juga termasuk warteg.
Penghasilan yang diperoleh dari setiap kios merupakan obyek pajak yang harus dibayar secara berangsur-angsur setiap bulan (PPh Pasal 25) agar tidak memberatkan wajib pajak tersebut. Setelah satu tahun, wajib pajak tersebut wajib melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan dengan melampirkan surat setoran pajak (SSP) Pasal 25 (pajak bulanan).
SSP PPh Pasal 25 itu akan mengurangi jumlah PPh tahunan yang akan dibayarnya setiap bulan Maret. Ini sesuai dengan prinsip PPh Pasal 25, yakni mendekati jumlah pembayaran PPh tahunannya. Namun, tidak semua warung dikenai kewajiban membayar PPh Pasal 25.
Jika jumlah peredaran di warung itu lebih kecil daripada penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni Rp 1,32 juta per bulan, pemilik warung itu tidak termasuk subyek pajak sehingga dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Pasal 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar