JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi VII DPR menyepakati pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi secara bertahap, yang dimulai jenis premium di wilayah Jabodetabek, dilakukan akhir Maret 2011.
Kesepakatan tersebut dicapai dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan di Jakarta, Selasa (14/12/2010) dini hari.
Komisi VII DPR meminta pemerintah melakukan kajian teknis pembatasan dan disetujui komisi terlebih dahulu pada masa sidang berikutnya, yakni Januari 2011, sebelum memulai pelaksanaannya.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya berlangsung hampir 14 jam, yakni sejak Senin (13/12/2010) pukul 10.30 WIB hingga selesai Selasa pukul 00.10 WIB, dengan diselingi tiga kali skors.
Pada awal rapat Hatta mengajukan pembatasan BBM subsidi secara bertahap yang dimulai di wilayah Jabodetabek untuk jenis premium pada minggu ketiga Januari 2011.
Namun, sebagian besar anggota Komisi VII DPR menilai pembatasan belum siap dilakukan mulai Januari 2011.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB, Nur Yasin, mengatakan, program pembatasan memerlukan kajian yang memadai. "Selain kesiapan infrastruktur, kami melihat sosialisasi tidak cukup kalau dimulai Januari 2011," katanya. Menurut dia, pemerintah mesti belajar dari kasus konversi elpiji.
Hal senada dikemukakan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP, M Romahurmuziy. "Kami setuju pembatasan BBM yang merupakan amanat UU APBN 2011. Tapi, bukan Januari 2011," ujarnya.
Ia juga menambahkan, program tersebut memerlukan kesiapan empat hal terlebih dahulu, yakni infrastruktur, pelaksana lapangan, sosialisasi, dan antisipasi penyalahgunaan.
Hatta mengatakan, pemerintah dan PT Pertamina (Persero) siap melaksanakan pembatasan tersebut mulai akhir Maret 2011. Menurut dia, kebijakan subsidi dilakukan dengan dua pendekatan, yakni berkeadilan berupa perlindungan rakyat yang tidak mampu dan ketersediaan anggaran. "Pemerintah bisa saja menutup kebutuhan subsidi dengan anggaran yang ada, tapi instrumen keadilannya terabaikan," katanya.
Ia menambahkan, kebijakan pembatasan selalu memiliki risiko, tetapi harus dilakukan demi sesuatu yang lebih baik.
Hatta juga mengatakan, pembatasan ini merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 yang meminta pemerintah mengatur pemakaian BBM subsidi secara bertahap agar lebih tepat sasaran.
Sesuai dengan amanat APBN 2011, kuota BBM subsidi ditetapkan 38,6 juta kiloliter, sementara diperkirakan realisasinya melebihi angka kuota sehingga memerlukan pengaturan.
Darwin menambahkan, dampak inflasi pembatasan tidak terlalu mengkhawatirkan karena dilakukan bertahap dan mobil pribadi. "Tambahan inflasi langsung akibat pengaturan BBM di Jabodetabek mencapai 0,15 persen dan Jawa-Bali di luar Jabodetabek 0,29 persen," ujarnya.
Agus Martowardojo mengatakan, penggunaan dana penghematan subsidi yang didapat dari program pembatasan akan dibicarakan dalam pembahasan RAPBN Perubahan 2011.
Kesepakatan tersebut dicapai dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan di Jakarta, Selasa (14/12/2010) dini hari.
Komisi VII DPR meminta pemerintah melakukan kajian teknis pembatasan dan disetujui komisi terlebih dahulu pada masa sidang berikutnya, yakni Januari 2011, sebelum memulai pelaksanaannya.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya berlangsung hampir 14 jam, yakni sejak Senin (13/12/2010) pukul 10.30 WIB hingga selesai Selasa pukul 00.10 WIB, dengan diselingi tiga kali skors.
Pada awal rapat Hatta mengajukan pembatasan BBM subsidi secara bertahap yang dimulai di wilayah Jabodetabek untuk jenis premium pada minggu ketiga Januari 2011.
Namun, sebagian besar anggota Komisi VII DPR menilai pembatasan belum siap dilakukan mulai Januari 2011.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB, Nur Yasin, mengatakan, program pembatasan memerlukan kajian yang memadai. "Selain kesiapan infrastruktur, kami melihat sosialisasi tidak cukup kalau dimulai Januari 2011," katanya. Menurut dia, pemerintah mesti belajar dari kasus konversi elpiji.
Hal senada dikemukakan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP, M Romahurmuziy. "Kami setuju pembatasan BBM yang merupakan amanat UU APBN 2011. Tapi, bukan Januari 2011," ujarnya.
Ia juga menambahkan, program tersebut memerlukan kesiapan empat hal terlebih dahulu, yakni infrastruktur, pelaksana lapangan, sosialisasi, dan antisipasi penyalahgunaan.
Hatta mengatakan, pemerintah dan PT Pertamina (Persero) siap melaksanakan pembatasan tersebut mulai akhir Maret 2011. Menurut dia, kebijakan subsidi dilakukan dengan dua pendekatan, yakni berkeadilan berupa perlindungan rakyat yang tidak mampu dan ketersediaan anggaran. "Pemerintah bisa saja menutup kebutuhan subsidi dengan anggaran yang ada, tapi instrumen keadilannya terabaikan," katanya.
Ia menambahkan, kebijakan pembatasan selalu memiliki risiko, tetapi harus dilakukan demi sesuatu yang lebih baik.
Hatta juga mengatakan, pembatasan ini merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 yang meminta pemerintah mengatur pemakaian BBM subsidi secara bertahap agar lebih tepat sasaran.
Sesuai dengan amanat APBN 2011, kuota BBM subsidi ditetapkan 38,6 juta kiloliter, sementara diperkirakan realisasinya melebihi angka kuota sehingga memerlukan pengaturan.
Darwin menambahkan, dampak inflasi pembatasan tidak terlalu mengkhawatirkan karena dilakukan bertahap dan mobil pribadi. "Tambahan inflasi langsung akibat pengaturan BBM di Jabodetabek mencapai 0,15 persen dan Jawa-Bali di luar Jabodetabek 0,29 persen," ujarnya.
Agus Martowardojo mengatakan, penggunaan dana penghematan subsidi yang didapat dari program pembatasan akan dibicarakan dalam pembahasan RAPBN Perubahan 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar