JAKARTA, KOMPAS.com — Dana otonomi khusus Rp 28 triliun untuk Papua dan Papua Barat tak berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sana. Karena itu, penyediaan anggaran untuk otsus perlu dikaji ulang.
”Sejak 2002 hingga 2010 dana otsus Rp 28 triliun, tetapi apa yang didapat? Tak ada. Ada yang salah dalam kebijakan pembangunan di Papua dan Papua Barat,” ujar anggota DPR, Yoris Raweyai, dalam Rapat Pimpinan DPR tentang Pembangunan Aceh, Papua, dan Papua Barat di Jakarta, Rabu (1/12/2010).
Hadir dalam rapat tersebut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Gubernur Papua dan Papua Barat tidak hadir.
Yoris menegaskan, sebelum ada dana otsus, angka harapan hidup di Papua dan Papua Barat 50 tahun. Setelah dana otsus cair, angka harapan hidup 48 tahun.
Sebelum tahun 2002, kata Yoris, masalah kesehatan masyarakat hanya penyakit malaria dan kematian ibu hamil. Setelah ada dana otsus, justru muncul masalah penyakit HIV/AIDS hingga ke daerah pelosok.
”Kita perlu meninjau ulang strategi pembangunan di Papua dan Papua Barat. Mengelola uang dalam jumlah besar, seperti dana otsus, perlu ada badan khusus, jangan dilepas saja,” ujarnya.
Menko Perekonomian berpendapat, ada delapan kendala yang membuat aliran dana yang sangat besar ke Papua dan Papua Barat tak menghasilkan apa-apa.
Kendala itu adalah infrastruktur transportasi tidak menghubungkan pusat-pusat komunitas penduduk dengan kawasan berpertumbuhan ekonomi tinggi. Investasi ke sektor riil rendah. Angkatan kerja didominasi penduduk berpendidikan SMP dan endemi penyakit menular.
Selain itu, pemahaman tentang gaya hidup sehat juga rendah. Pemberdayaan ekonomi rakyat rendah. Sistem kepemilikan tanah berbasiskan hak ulayat kerap bertentangan dengan kepentingan nasional dan kapasitas kelembagaan belum berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar