24 Oktober 2010.
VIVAnews - Malapetaka buat Jakarta akan datang lebih cepat bila tidak segera diantisipasi dan ditangani. Kemacetan total dan ancaman tenggelam sudah makin nyata.
Masyarakat mungkin sudah telalu bosan memperbincangkan solusi kemacetan maupun banjir kiriman, dan kini genangan air juga tidak kalah membuat banyak orang berteriak karena dampaknya.
Dari mulai pengembangan transportasi massal (MRT), penerapan jalan berbayar (ERP), sampai wacana untuk meningkatkan tarif parkir hingga 5 kali lipat. Semuanya dilakukan agar aktivitas kendaraan dapat dibatasi dan Jakarta bebas dari kemacetan.
Kini, kota dengan 9 juta penduduk ini juga menerima ancaman yang tidak kalah serius untuk penanganannya. Ancaman itu adalah kebakaran yang datang hampir setiap hari di Jakarta. Ancaman ini bahkan telah menjauhkan Jakarta jadi kota modern.
Setiap hari setidaknya ada dua sampai tiga kebakaran yang terjadi di Jakarta. Jumlah per tahun bahkan melebihi angka 800-an. Pada bulan Maret 2010 lalu, kerugian materi akibat kebakaran mencapai Rp54,6 miliar. Sementara korban jiwa sudah lebih dari enam orang meninggal dunia.
Data terbaru, ada 53 kelurahan dan 97 pasar tradisional yang masuk dalam zona merah rawan kebakaran tahun ini. Kawasan itu adalah pemukiman padat penduduk.
Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DPK-PB) Provinsi DKI Jakarta, Paimin Napitupulu menyampaikan, wilayah paling rawan kebakaran ada di Jakarta Selatan, disusul Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
Dari seluruh kejadian kebakaran, Pemerintah DKI Jakarta menyimpulkan kalau tingginya angka kebakaran akibat hubungan arus pendek. Instalasi listrik yang tidak baik dan penggunaan beban yang tinggi adalah faktor utamanya. Tidak sedikit pemukiman yang memiliki sistem pemasangan instalasi yang tidak sesuai prosedur. Lalu mengapa ini bisa terjadi?
Menurut pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, kebakaran di Jakarta sangat tepat bila dikatakan sebagai ancaman. Penataan daerah padat penduduk yang tidak pernah diselesaikan akan mejauhkan predikat kota ini menjadi modern.
"Faktor lingkungan yang padat dan pencurian listrik adalah persoalannya," ujar Yayat Supriatna, saat berbincang dengan VIVAnews, Minggu 24 Oktober 2010.
Penyambungan liar, dan beban yang terlalu berlebihan harus menjadi target pembenahan bagi PLN dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Solusi yang paling mungkin dilakukan untuk menekan kebakaran adalah dengan penataan dan pembinaan. Dua cara itu untuk upaya pencegahan. Karena program sejuta tower dianggap bukan solusi yang berpihak kepada rakyat kecil.
"Tidak mungkin sejuta tower, Jakarta bukan kota sosialis. Jadi hanya mimpi saja kalau ada rumah murah," ujar Yayat.
Ancaman lain yang tidak kalah menakutkannya adalah gempa. Ada empat gempa dahsyat yang pernah tercatat sejarah. Dua di antaranya akibat letusan Gunung Salak dan letusan Gunung Krakatau. Bagi para pakar, dua gempa besar itu menjadi petunjuk bencana yang bisa saja berulang di Jakarta.
Menurut pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawijaya, adanya fakta sejarah, dapat memastikan gempa akan berulang dalam periode tertentu. Dan Jakarta harus selalu siap menghadapi skenario terburuk bencana gempa ini.
Suka tak suka, Jakarta memang ditakdirkan berada di bawah bayang-bayang jalur gempa. Kabar adanya sesar, atau patahan gempa di Jakarta yang melintang dari wilayah Ciputat sampai Kota. Hal ini sebagai fakta adanya Sesar Ciputat.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, salah satu bukti adanya Sesar itu adalah sumber mata air panas di sekitar Gedung Arsip Nasional. Namun, Sesar itu adalah patahan tua.
Secara nyata itulah ancaman yang akan tetap mengusik Jakarta. Kemacetan, banjir kiriman, genangan air, kebakaran, bahkan bayang-bayang ancaman gempa maha dasyat yang membutuhkan penanganan dan persiapan serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar