home

Angka Kemiskinan Simpang Siur
















21 September 2010.

JAKARTA, KOMPAS.com - Besarnya angka kemiskinan Indonesia masih simpang siur. Untuk kepentingan yang berbeda, angka yang menunjukkan jumlah penduduk miskin tersebut muncul dengan besaran berbeda.

Dalam laporan yang dibawa ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Milenium yang berlangsung pada 20-22 Desember 2010 di New York, angka kemiskinan yang dilaporkan adalah 13,3 persen atau jumlah penduduk miskin sekitar 31,02 juta—data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Penduduk 2010.

Menurut catatan Kompas, dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan bagi orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang dapat menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS, yakni 31,02 juta jiwa pada tahun 2010.

Kesimpangsiuran angka penduduk miskin tersebut ditanggapi oleh Suahasil Nazara, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Sementara itu, Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad dari sudut pandang yang berbeda menyoroti angka yang dilaporkan Indonesia ke forum di New York.

Metodologi

Menurut Suahasil Nazara, kemiskinan mempunyai banyak dimensi yang kerap tidak terwakili dalam data statistik. Orang-orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan, misalnya, tidak dapat diabaikan karena jumlahnya besar. Persentase kemiskinan (sesuai laporan BPS) sekitar 13 persen, tetapi angka penerima bantuan pemerintah terkadang lebih besar. ”Itu mencerminkan terdapat keluarga yang masih layak menerima bantuan, tetapi tidak dikategorikan miskin oleh statistik BPS,” ujar Suahasil.

Menurut dia, persentase kemiskinan yang dikeluarkan BPS merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan metode tertentu. Yang terpenting, tegasnya, adalah menggunakan satu metodologi yang sama agar angka-angka tersebut dapat diperbandingkan antarwaktu sehingga trennya bisa diketahui.

Kualitas hidup

Suahasil menambahkan, salah satu tantangannya ialah mendekatkan perhitungan makro dengan realitas kemiskinan untuk kepentingan intervensi program-program mengurangi kemiskinan.

Hal lainnya, kualitas dan perbaikan hidup masyarakat belum tentu tercermin dari statistik itu. Angka kemiskinan turun belum berarti ada perbaikan kualitas hidup.

Menyoroti kualitas hidup, menurut Chalid, kualitas hidup penduduk miskin semakin buruk karena kebijakan pemerintah berpihak kepada kapitalis.

Kualitas hidup yang antara lain juga tampak dari pemenuhan kebutuhan akan air bersih dipandang Chalid tidak akan mencapai target MDGs karena, ”Patokannya adalah air dengan pemipaan, air bersih yang diswastakan. Bagaimana penduduk miskin akan mengakses? Harganya saja demikian mahal,” ujarnya. Dengan kebijakan semacam itu, tambahnya, penduduk miskin akan semakin jatuh miskin.

Suahasil menjelaskan, lantaran kompleksitasnya, penanganan kemiskinan perlu dilakukan secara komprehensif. Menurut dia, pemerintah sebetulnya telah mempunyai pendekatan dalam mengatasi masalah kemiskinan dengan membagi menjadi tiga kluster, yakni berbasis keluarga, komunitas, serta usaha mikro atau kecil.

”Kluster pertama biasanya berbentuk bantuan sosial. Kluster ketiga merupakan upaya meningkatkan pendapatan yang melibatkan lembaga keuangan atau perbankan,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar