13 Juli 2010.
JAKARTA, KOMPAS.com -
Pantauan Kompas di sejumlah pasar tradisional di Jakarta, Senin (12/7/2010), menunjukkan, harga telur naik sekitar 36 persen dari Rp 12.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 17.000. Harga daging ayam ras juga naik dari Rp 20.000 untuk karkas berat 1,8 kg menjadi Rp 25.000.
Harga daging sapi tetap stabil tinggi Rp 60.000 per kg. Harga daging sapi ini lebih rendah dibandingkan dengan harga pantauan Kementerian Perdagangan per 7 Juli yang berkisar Rp 65.108 per kg. Harga daging sapi ini relatif tinggi meski harga sapi di tingkat peternak masih jatuh. Sejak enam bulan lalu, harga per ekor sapi peternak turun hingga Rp 2 juta dari harga semula Rp 8 juta-Rp 9 juta.
Harga beras juga melonjak. Beras kualitas medium setara IR-64 kualitas 3 mencapai Rp 5.500 per kilogram. Itu pun kualitas berasnya tidak begitu bagus, ada noda hitam. Kalau ingin mendapatkan beras lebih bagus, harganya mencapai Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.
Harga sayur-sayuran juga naik, termasuk sayur untuk bumbu masak yang merupakan kebutuhan utama masyarakat yang tak tergantikan.
Harga cabai rawit merah bahkan menembus Rp 50.000 per kg dari sebulan lalu Rp 30.000. Harga cabai rawit hijau Rp 36.000 per kg. Harga bawang merah yang tadinya Rp 9.000 naik 77 persen menjadi Rp 15.000 per kg.
Kalaupun ada penurunan, hal itu terjadi pada harga tomat dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 6.000. Harga daging ayam lokal atau ayam kampung naik dari Rp 24.000 menjadi Rp 28.000-Rp 30.000 per kg.
Karyati, pedagang sayur asal Desa Rembul II, Kecamatan Randu Dongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, mengungkapkan, naiknya harga kebutuhan pokok membuat warga berhemat. ”Biasanya modal belanja Rp 600.000 per hari balik dan ada keuntungan,” katanya.
Sekarang sulit karena konsumen sedang berhemat. Konsumsi dikurangi dengan menekan biaya hidup sehari-hari, seperti uang belanja jatah makan. Selain karena dampak kenaikan harga barang, juga akibat prioritas pengeluaran untuk biaya sekolah.
Kenaikan harga kebutuhan pokok ini jelas memukul daya beli buruh dengan pendapatan yang relatif tidak berubah. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban mengatakan, penurunan daya beli buruh terjadi karena kenaikan upah lebih lambat daripada inflasi. Dalam 5 tahun terakhir, buruh semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup mereka akibat kenaikan harga barang yang sangat cepat.
Ia mencontohkan, 5 tahun lalu buruh yang pensiun dan menerima jaminan hari tua dari Jamsostek sebesar Rp 27 juta masih dapat memanfaatkan dana itu hingga 5 tahun kemudian. Namun, kini dana sebanyak itu hanya mampu menalangi kebutuhan hidup selama 18 bulan.
Perjuangan buruh mendapatkan upah yang layak untuk hidup sejahtera memang semakin berat. BPS mencatat, jumlah angkatan kerja pada Agustus 2009 mencapai 113,83 juta orang dengan 29,11 juta orang di antaranya di sektor formal.
Akan tetapi, pekerja yang menerima upah lebih dari Rp 3 juta per bulan hanya 4,5 juta orang. Artinya, 85 persen pekerja sektor formal hanya memiliki upah kurang dari Rp 3 juta per bulan.
Menurut Rekson, pemerintah harus mengkaji ulang kebutuhan hidup layak buruh dan kemampuan pengusaha. Hal ini penting karena pemerintah turut bertanggung jawab dalam menyejahterakan buruh.
”Apa yang terjadi belakangan ini merupakan dampak ketidakmampuan pemerintah mengubah praktik negatif ekonomi biaya tinggi yang membuat buruh semakin tertekan. Sebelum tahun 2003, buruh permanen masih mencapai 60 persen dari angkatan kerja formal, tetapi kini tinggal 30 persen. Apabila pemerintah tidak berbuat sesuatu, ledakan masalah sosial bisa terjadi,” ujar Rekson.
Ketua Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia Chris Hardijaya mengatakan, sudah tidak bisa lagi diantisipasi kenaikan TDL dengan mengurangi ukuran produk karena persaingan industri roti sangat ketat.
Menurut Chris, dampak turunan kebijakan TDL membawa pada penurunan kualitas hidup manusia. Ketika kesehatan semakin terancam, manusia tidak dapat lagi optimal dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Sudirman mengatakan, dampak kenaikan TDL bakal luar biasa menekan daya beli masyarakat. Karena uang masyarakat yang seharusnya dibelanjakan untuk telur dan ayam dialihkan untuk membayar listrik yang jelas tidak bisa ditunda.
”Yang saya takutkan kenaikan TDL akan memengaruhi belanja masyarakat dan berdampak pada penurunan konsumsi produk unggas. Hal ini menyebabkan penurunan serapan pakan ternak,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar