19 November 2010.
Hamzirwan
Kompas.com. Penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah menjadi salah satu sumber devisa. Bank Dunia memperkirakan buruh migran akan membawa remitansi sedikitnya 7,1 miliar dollar AS tahun 2010, naik dari 6,7 miliar dollar AS tahun 2009. Namun, apa yang mereka dapat dari negara? Sumiati binti Salan Mustapa malah menderita.
Sebenarnya banyak buruh migran seperti Sumiati yang mengalami nestapa saat bekerja di luar negeri dan kini hidup merana karena pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk mereka.
Para elite negeri ini lebih menaruh perhatian kepada penderitaan buruh migran yang tengah mendapat perhatian luas di media massa. Mereka seperti memanfaatkan kesempatan ini untuk memoles citra tanpa membuat gebrakan tegas demi melindungi buruh migran.
Negara masih memandang pahlawan devisa, penyumbang remitansi tujuh kali lipat dari komitmen Norwegia untuk pelestarian hutan Indonesia, sebelah mata.
Seandainya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemennakertrans) bersama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) serius menjalankan fungsi mereka, perempuan berusia 23 tahun asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, ini tidak akan menderita seperti sekarang.
Perempuan cantik yang terpaksa merantau menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi akibat kemiskinan keluarga kini menjalani sisa hidup dengan siksaan lahir dan batin. Istri majikan tega menganiaya Sumiati di luar batas perikemanusiaan dengan menggunting bibir, menyetrika, dan memukulinya.
Sumiati berangkat bekerja ke kediaman Khaled Salem M al-Khamimi di Madinah, Arab Saudi, melalui PT Rajana Falam Putri, Jakarta, pada 18 Juli 2010. Diduga, dia menjadi korban penganiayaan sejak awal bekerja.
Bisa jadi keluarga pengguna jasa kecewa karena mendapatkan Sumiati yang tidak mampu berbahasa Arab atau Inggris sementara mereka sudah membayar mahal kepada agen pekerja asing. Kondisi seperti ini juga terjadi di Malaysia.
Dari sedikitnya enam juta TKI di luar negeri, Malaysia dan Arab Saudi merupakan negara tujuan utama. Malaysia menampung 2,2 juta TKI dan Arab Saudi mencapai 1 juta TKI, sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan sektor informal lain.
Masalah domestik
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah domestik. Sampai saat ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan, dokumentasi, dan pelatihan calon TKI yang mumpuni.
Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal sama sekali, mendaftar menjadi TKI.
Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong mereka. Sponsor, yang seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan.
Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan PPTKIS dan meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari pengusaha.
Sampai di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan kompetensi minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar negeri selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan meningkatkan kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di negara tujuan.
Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini tidak berjalan. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor komunikasi yang membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi majikan. Oleh karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha penempatan dan birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas.
Bagaimana mungkin Sumiati bisa tetap berangkat ke Madinah dengan prosedur resmi sementara dia tidak memenuhi syarat pokok dalam kompetensi kerja?
Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan Sumiati. Dia hanya ingin bekerja agar bisa keluar dari kemiskinan. Sumiati bisa saja merasa tertarik atas keberhasilan teman dan kerabatnya yang sukses mendulang rezeki di luar negeri menjadi TKI.
Belum sebulan Muhaimin Iskandar menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dia meluncurkan program sertifikasi kompetensi 15.000 calon TKI tujuan Timur Tengah bekerja sama dengan asosiasi pengusaha penempatan TKI.
Muhaimin juga merazia sejumlah tempat penampungan calon TKI yang tidak layak dan menegaskan akan mencabut izin PPTKIS konsumen sertifikat kompetensi kerja TKI asli tetapi palsu.
Disebut asli tetapi palsu (aspal) karena PPTKIS mendapatkan sertifikat resmi itu tanpa menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja. Sertifikat aspal ini diperdagangkan dengan harga Rp 70.000 per lembar.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Yunus M Yamani dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Rusjdi Basalamah pernah mempersoalkan hal ini.
Namun, pemerintah tidak kunjung menangani sehingga praktik ilegal itu semakin meluas. Pengusaha yang serius menjalankan aturan pemerintah menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja berbiaya Rp 1,1 juta per orang pun tergoda.
Mereka telah kehilangan daya saing saat pemerintah tak kunjung menindak perdagangan sertifikat aspal senilai Rp 70.000 per lembar tanpa proses pelatihan.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, PPTKIS dan balai latihan kerja penerbit sertifikat kompetensi kerja aspal bisa dipidana karena menggunakan dokumen resmi secara tidak sah.
Namun, Kemennakertrans dan BNP2TKI juga patut diseret ke pengadilan karena turut meloloskan pemegang sertifikat aspal ke luar negeri. Kelemahan pemerintah membenahi persoalan domestik turut melemahkan rasa percaya diri diplomasi bilateral.
Saat ini, Indonesia menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI sektor informal ke Malaysia sejak 26 Juni 2009, Kuwait (1 September 2009), dan Jordania (30 Juli 2010). Moratorium ini berawal dari keengganan pemerintah ketiga negara memenuhi permintaan Indonesia. Kemampuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pembantunya dalam hal negosiasi, lobi, dan diplomasi sangat menentukan keberhasilan moratorium. Kalau tidak, ya seperti sekarang. Kebijakan buruh migran Indonesia akan terus berfluktuasi mengikuti kemauan negara tujuan dan penyiksaan TKI oleh majikan tak lebih angka statistik semata. Semua demi aliran devisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar